Skip to main content

Bung Beo "Rewung"

Beo Bung adalah Beo  yang sering berjumpa dengan Rewung. Rewung sudah terlalu akrab hingga melekat dan tak ingin beranjak, ditambah dengan  hawa dan dinginya air layaknya di pegunungan dataran tinggi begitu mengigil suasana hati.

Mempunyai keunikan tersendiri yang menyimpan sejuta Rewung  sampai jalanpun tak terlihat  adalah sesuatu yang kadang menjadi pilu bagi setiap siapa saja yang akan kesana, itu bagi mereka yang pernah pasti mengatakan hal yang sama, tetapi saya sendiri termasuk dari  beberapa penghuni sangat merindukan kebersamaan yang ditemani oleh Rewung tersebut.

Sore yang indah, begitu lengkap di depan mata tak luput dari kehangatan dahaga yaitu kopi tuk khas manggarai yang baunya begitu mengundang rasa penasaran disetiap tegukan lewat tenggorokan. Sepiring tete daeng dan tete teko mengisi perut yang kosong sejak tadi siang, perpaduan keduanya sangat menyenangkan mata yang memancing untuk mencoba rasa dari tete tersebut dan kopi tuk

Rewung kini sudah mulai nampak sedang matahari sudah dikalahkan olehnya, tenggelam entah kemana dia pergi. Baju jemuran belum juga kering menunggu dia nampak lagi itu tidak akan terjadi kecuali hari tertentu saja. 
Apalagi yang sudah panen pasti ada keluhan karena setiap menjemur di pagi hari siangnya si rewung berbalik arah untuk memutar. 

Kembali untuk mengumpulkannya kedalam karung adalah rutinitas yang sangat mengecewakan karena matahari itu jarang muncul sungguh harapan akan menggiling besok sore sudah tak akan terjadi.

Di atas tenda kecil depan rumah, suasananya begitu santai serasa di permukiman sawah yang jauh dari perumahan, sepi menghantui hati karena selama pandemi ini warga setempat rupanya takut keluar rumah virus sedang berjalan-jalan jangan bersalaman dulu Hehee......... Aku tertawa saat mendegar kata mereka.

Kerindangan dari pohon mangga tepatnya di atas kepala sungguh begitu menarik bagi kami yang bernaungan di bawahnya, sekarang dia semakin tinggi, daunnya lebat tetapi aku sudah tak bisa untuk memanjatnya lagi padahal dulu begitu akrab untuk memanjat karena ketika berada di atas kita dapat menikmati panorama dari alam ini.

Rewung kembali membawa kepiluan dalam hati, dinginnya sampe merobek kulitku yang tipis ini dan tulang-tulang pun ikut merasakannya bibir sudah mulai menghitam bagai terkepung dalam frizzer tetapi untungnya ada jaket yang berbalut berapa lapis melindungiku.
Kopi kini sudah menjadi kawanan disetiap harinya mulai dari pagi, siang dan sore hari bagai kebutuhan pokok. Bila tak ada kopi hidup ini terasa hampa begitulah kata mereka yang mencintai kopi  tuk yang serba ketradisionalan.

Tak sadar sambil berbincang kopinya telah habis sisa ampas-ampas hitam pekat didalamnya, aku sedih karena hanya aku saja yang menghabiskan dengan begitu cepat dan mereka yang tengah berbincang masih ada sisa.

Ayah kembali mendongeng si pondik  yang konon katanya sering menipu dari awal pergumulan sampai akhir tetapi disitu ada humor yang menghiasi suasana kami agar tak begitu tegang.
Karena saya sangat penasaran sampai kutumpahkan kopi kakakku secara tak sengaja, tetapi dia tidak memarahiku sama sekali dia hanya berbalas senyum sinis. Aku langsung minggat karena aku kira dia akan geram dengan tingkahku yang konyol itu.

Aku kembali ke dapur dan melihat sepintas di luar jendela tanaman yang ditanam oleh Alm. mamaku, disitu aku diam sejenak lalu memandang satu persatu betapa tidak hatiku sudah kembali dibelenggu. Kerinduan yang belum terbalas lewat cinta dan kasih sayang kini disirna oleh waktu yang semakin melaju. Tetapi ya sudahlah dari pada aku menangis lagi lebih baik berpindah tempat.

Jam sudah menunjukan angka 17:30 kedinginan yang mencekam semakin meraja, ditambah pilek selalu bersahabat denganku kini tissue semakin hari persediannya mulai berkurang, aku berpikir dalam hati kapan pileknya pergi makin kesini makin bertambah saja jadi setiap hari aku harus meminum air hangat agar dia mereda. Tetapi aku sangat malas karena berbagai anjuran dari mereka yang mengatakan jangan mandi di malam hari takutnya pilek akan bertambah parah.
Aku membantahnya dengan keras, tetapi suara dari beberapa mulut menerkamku dengan tajam yah aku kalah dan aku harus mengalah hingga kuputuskan untuk mengikuti anjuran dari mereka.

Kesokan harinya aku bangun lebih cepat lalu melihat ke ufuk timur niat untuk berjemur tetapi mataharinya belum juga kelihatan. Hatiku kembali galau kabut menghalangi penglihatanku. Jalan ditutupnya sampai aku juga heran ini seperti di bagian kutub utara dinginnya mengancam kehangatanku di pagi hari.

Ya sudahlah, disyukuri saja karena alam ini punya tuhan tugas kita menikmati dan menjaga sama sepeti Rewung  tapi lama-lama hatiku semakin penasaran dengannya seandainya dia bisa digenggam akan kubawa dia bersama mimpi indah malamku tetapi nyatanya sulit sekali untuk aku prediksi sampai cungkir balikpun hasilnya tetap nihil.



Keterangan👇
Beo              :Kampung
Rewung      :Awan
Tete daeng :Ubi singkong
Tete teko    :Ubi talas
Tuk            :Tumbuk


Oleh:Asni Bastari


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Apakah saya bahagia?

             ( sumber gambar: hipwee.com) Di zaman sekarang kita meremehkan hidup sebagai sesuatu yang santai. Menghabiskan dengan bersuka ria, bersenang-senang sesuka hati sampai lupa akan tujuan dan konsekuensi dari awal apa yang harus diperbuat demi menuai hasil atau masa depan yang lebih baik. Kegiatan yang dilakukan hanya sebagai sesuatu yang cuma-cuma seperti, menarik ulur beranda setiap hari tanpa ada tujuan, buang-buang waktu mengurus perasaan yang tau-taunya tidak jelas mau kemana arahnya, menguras energi dengan memikirkan yang kenyataannya tidak sama dengan realita menguras bathin (menangis karena putus cinta, merasa masa depan sudah suram) menguras pikiran dan membuat hidup itu tidak ada arti seolah hidup itu seperti mati. Apakah dengan terus melakukan hal seperti itu adalah tanda dari suatu kebahagiaan atau kehidupan? Setiap orang punya penilaian masing-masing, kita tidak berhak bahwa pandangan mereka salah dan kita benar. Jawaban yang sesungguhnya adalah, baga

Antara Hujan dan Rindu

 Soreku begitu hangat ditemani dengan secangkir kopi pahit diatas meja yang biasa kutumpangi. Desiran hujan yang berguyur seluruh kota tak asing lagi terdengar. Beberapa kendaraan hendak lewat dijalanan dan sebagian dari mereka mengenakan jas hujan(mantel).Aku duduk ditepi kaca yang transparan sambil melihat beberapa kendaraan yang hendak lewat. Seandainya saja aku tak beranjak dewasa betapa indahnya masa-masa yang telah aku lewatkan tersirat sejuta kenangan dimana saat sepulang sekolah pada waktu SD kujadikan daun pisang sebagai payung teduhku sambil bercerita dengan teman sebaya.Yang lainnya pada sibuk main kejar-kejaran dan yang lain lagi ingin basah kuyup sembari menikmati hujan. Sambil bercakap-cakap satu diantara kami begitu senang dan tak ingin hujannya berhenti. Ditengah perjalan terlihat tanaman disekitar begitu indah ditambah desiran angin yang begitu kencang kamipun bersorak-sorai dan bernyanyi seakan dunia itu milik kami. Lumpur dan juga air keruh kini tak asing la

Perihal berpena

Menjelma bagai dewa Terselubung lewat sinar Sulit untuk aku genggam Perlahan dia menghilang arah Di atas surat itu sudah kutuliskan Kenangan indah bersama dikala dulu Tentang cinta dan kasih sayang Kini sirna dimakan serangga dan lalat Aku terkapar lagi pada barisan depan Sejenak nafasku terengah dan mengangah Sekitar melihat dengan mata tajam Kubalas dengan senyuman membinar Letihku tak terbayar pada aksara Aku berkarya bukan semata ingin terkenal Tetapi jiwaku berkata baiknya kamu berpena Dengan itu kamu akan mengerti apa arti dari peribahasa Setiap kata kuperlihatkan dengan seksama Agar aku mengerti apa yang sedang aku jabarkan Tetapi ilusi kian mulai berhenti pada saat aku memaksa untung mencerna Hingga mataku lelap memikirkan perihal Kubuka perhelai setiap ciutanku diatas buku Sejenak aku diam lalu melotot pada kata itu Mencari hingga beberapa sumber untuk menemu Alangkah baiknya tak jelas dan lebih baik bisu Ragaku sudah tak ingin untuk mencari la