Beo Bung adalah Beo yang sering berjumpa dengan Rewung. Rewung sudah terlalu akrab hingga melekat dan tak ingin beranjak, ditambah dengan hawa dan dinginya air layaknya di pegunungan dataran tinggi begitu mengigil suasana hati.
Mempunyai keunikan tersendiri yang menyimpan sejuta Rewung sampai jalanpun tak terlihat adalah sesuatu yang kadang menjadi pilu bagi setiap siapa saja yang akan kesana, itu bagi mereka yang pernah pasti mengatakan hal yang sama, tetapi saya sendiri termasuk dari beberapa penghuni sangat merindukan kebersamaan yang ditemani oleh Rewung tersebut.
Sore yang indah, begitu lengkap di depan mata tak luput dari kehangatan dahaga yaitu kopi tuk khas manggarai yang baunya begitu mengundang rasa penasaran disetiap tegukan lewat tenggorokan. Sepiring tete daeng dan tete teko mengisi perut yang kosong sejak tadi siang, perpaduan keduanya sangat menyenangkan mata yang memancing untuk mencoba rasa dari tete tersebut dan kopi tuk
Mempunyai keunikan tersendiri yang menyimpan sejuta Rewung sampai jalanpun tak terlihat adalah sesuatu yang kadang menjadi pilu bagi setiap siapa saja yang akan kesana, itu bagi mereka yang pernah pasti mengatakan hal yang sama, tetapi saya sendiri termasuk dari beberapa penghuni sangat merindukan kebersamaan yang ditemani oleh Rewung tersebut.
Sore yang indah, begitu lengkap di depan mata tak luput dari kehangatan dahaga yaitu kopi tuk khas manggarai yang baunya begitu mengundang rasa penasaran disetiap tegukan lewat tenggorokan. Sepiring tete daeng dan tete teko mengisi perut yang kosong sejak tadi siang, perpaduan keduanya sangat menyenangkan mata yang memancing untuk mencoba rasa dari tete tersebut dan kopi tuk
Rewung kini sudah mulai nampak sedang matahari sudah dikalahkan olehnya, tenggelam entah kemana dia pergi. Baju jemuran belum juga kering menunggu dia nampak lagi itu tidak akan terjadi kecuali hari tertentu saja.
Apalagi yang sudah panen pasti ada keluhan karena setiap menjemur di pagi hari siangnya si rewung berbalik arah untuk memutar.
Kembali untuk mengumpulkannya kedalam karung adalah rutinitas yang sangat mengecewakan karena matahari itu jarang muncul sungguh harapan akan menggiling besok sore sudah tak akan terjadi.
Di atas tenda kecil depan rumah, suasananya begitu santai serasa di permukiman sawah yang jauh dari perumahan, sepi menghantui hati karena selama pandemi ini warga setempat rupanya takut keluar rumah virus sedang berjalan-jalan jangan bersalaman dulu Hehee......... Aku tertawa saat mendegar kata mereka.
Kerindangan dari pohon mangga tepatnya di atas kepala sungguh begitu menarik bagi kami yang bernaungan di bawahnya, sekarang dia semakin tinggi, daunnya lebat tetapi aku sudah tak bisa untuk memanjatnya lagi padahal dulu begitu akrab untuk memanjat karena ketika berada di atas kita dapat menikmati panorama dari alam ini.
Rewung kembali membawa kepiluan dalam hati, dinginnya sampe merobek kulitku yang tipis ini dan tulang-tulang pun ikut merasakannya bibir sudah mulai menghitam bagai terkepung dalam frizzer tetapi untungnya ada jaket yang berbalut berapa lapis melindungiku.
Kopi kini sudah menjadi kawanan disetiap harinya mulai dari pagi, siang dan sore hari bagai kebutuhan pokok. Bila tak ada kopi hidup ini terasa hampa begitulah kata mereka yang mencintai kopi tuk yang serba ketradisionalan.
Tak sadar sambil berbincang kopinya telah habis sisa ampas-ampas hitam pekat didalamnya, aku sedih karena hanya aku saja yang menghabiskan dengan begitu cepat dan mereka yang tengah berbincang masih ada sisa.
Ayah kembali mendongeng si pondik yang konon katanya sering menipu dari awal pergumulan sampai akhir tetapi disitu ada humor yang menghiasi suasana kami agar tak begitu tegang.
Karena saya sangat penasaran sampai kutumpahkan kopi kakakku secara tak sengaja, tetapi dia tidak memarahiku sama sekali dia hanya berbalas senyum sinis. Aku langsung minggat karena aku kira dia akan geram dengan tingkahku yang konyol itu.
Aku kembali ke dapur dan melihat sepintas di luar jendela tanaman yang ditanam oleh Alm. mamaku, disitu aku diam sejenak lalu memandang satu persatu betapa tidak hatiku sudah kembali dibelenggu. Kerinduan yang belum terbalas lewat cinta dan kasih sayang kini disirna oleh waktu yang semakin melaju. Tetapi ya sudahlah dari pada aku menangis lagi lebih baik berpindah tempat.
Jam sudah menunjukan angka 17:30 kedinginan yang mencekam semakin meraja, ditambah pilek selalu bersahabat denganku kini tissue semakin hari persediannya mulai berkurang, aku berpikir dalam hati kapan pileknya pergi makin kesini makin bertambah saja jadi setiap hari aku harus meminum air hangat agar dia mereda. Tetapi aku sangat malas karena berbagai anjuran dari mereka yang mengatakan jangan mandi di malam hari takutnya pilek akan bertambah parah.
Aku membantahnya dengan keras, tetapi suara dari beberapa mulut menerkamku dengan tajam yah aku kalah dan aku harus mengalah hingga kuputuskan untuk mengikuti anjuran dari mereka.
Kesokan harinya aku bangun lebih cepat lalu melihat ke ufuk timur niat untuk berjemur tetapi mataharinya belum juga kelihatan. Hatiku kembali galau kabut menghalangi penglihatanku. Jalan ditutupnya sampai aku juga heran ini seperti di bagian kutub utara dinginnya mengancam kehangatanku di pagi hari.
Ya sudahlah, disyukuri saja karena alam ini punya tuhan tugas kita menikmati dan menjaga sama sepeti Rewung tapi lama-lama hatiku semakin penasaran dengannya seandainya dia bisa digenggam akan kubawa dia bersama mimpi indah malamku tetapi nyatanya sulit sekali untuk aku prediksi sampai cungkir balikpun hasilnya tetap nihil.
Keterangan👇
Beo :Kampung
Rewung :Awan
Tete daeng :Ubi singkong
Tete teko :Ubi talas
Tuk :Tumbuk
Oleh:Asni Bastari
Kerindangan dari pohon mangga tepatnya di atas kepala sungguh begitu menarik bagi kami yang bernaungan di bawahnya, sekarang dia semakin tinggi, daunnya lebat tetapi aku sudah tak bisa untuk memanjatnya lagi padahal dulu begitu akrab untuk memanjat karena ketika berada di atas kita dapat menikmati panorama dari alam ini.
Rewung kembali membawa kepiluan dalam hati, dinginnya sampe merobek kulitku yang tipis ini dan tulang-tulang pun ikut merasakannya bibir sudah mulai menghitam bagai terkepung dalam frizzer tetapi untungnya ada jaket yang berbalut berapa lapis melindungiku.
Kopi kini sudah menjadi kawanan disetiap harinya mulai dari pagi, siang dan sore hari bagai kebutuhan pokok. Bila tak ada kopi hidup ini terasa hampa begitulah kata mereka yang mencintai kopi tuk yang serba ketradisionalan.
Tak sadar sambil berbincang kopinya telah habis sisa ampas-ampas hitam pekat didalamnya, aku sedih karena hanya aku saja yang menghabiskan dengan begitu cepat dan mereka yang tengah berbincang masih ada sisa.
Ayah kembali mendongeng si pondik yang konon katanya sering menipu dari awal pergumulan sampai akhir tetapi disitu ada humor yang menghiasi suasana kami agar tak begitu tegang.
Karena saya sangat penasaran sampai kutumpahkan kopi kakakku secara tak sengaja, tetapi dia tidak memarahiku sama sekali dia hanya berbalas senyum sinis. Aku langsung minggat karena aku kira dia akan geram dengan tingkahku yang konyol itu.
Aku kembali ke dapur dan melihat sepintas di luar jendela tanaman yang ditanam oleh Alm. mamaku, disitu aku diam sejenak lalu memandang satu persatu betapa tidak hatiku sudah kembali dibelenggu. Kerinduan yang belum terbalas lewat cinta dan kasih sayang kini disirna oleh waktu yang semakin melaju. Tetapi ya sudahlah dari pada aku menangis lagi lebih baik berpindah tempat.
Jam sudah menunjukan angka 17:30 kedinginan yang mencekam semakin meraja, ditambah pilek selalu bersahabat denganku kini tissue semakin hari persediannya mulai berkurang, aku berpikir dalam hati kapan pileknya pergi makin kesini makin bertambah saja jadi setiap hari aku harus meminum air hangat agar dia mereda. Tetapi aku sangat malas karena berbagai anjuran dari mereka yang mengatakan jangan mandi di malam hari takutnya pilek akan bertambah parah.
Aku membantahnya dengan keras, tetapi suara dari beberapa mulut menerkamku dengan tajam yah aku kalah dan aku harus mengalah hingga kuputuskan untuk mengikuti anjuran dari mereka.
Kesokan harinya aku bangun lebih cepat lalu melihat ke ufuk timur niat untuk berjemur tetapi mataharinya belum juga kelihatan. Hatiku kembali galau kabut menghalangi penglihatanku. Jalan ditutupnya sampai aku juga heran ini seperti di bagian kutub utara dinginnya mengancam kehangatanku di pagi hari.
Ya sudahlah, disyukuri saja karena alam ini punya tuhan tugas kita menikmati dan menjaga sama sepeti Rewung tapi lama-lama hatiku semakin penasaran dengannya seandainya dia bisa digenggam akan kubawa dia bersama mimpi indah malamku tetapi nyatanya sulit sekali untuk aku prediksi sampai cungkir balikpun hasilnya tetap nihil.
Keterangan👇
Beo :Kampung
Rewung :Awan
Tete daeng :Ubi singkong
Tete teko :Ubi talas
Tuk :Tumbuk
Oleh:Asni Bastari
Tete daeng tete teko kopi tambang rongko jitu...
ReplyDeleteLambungpun aman
Delete