Skip to main content

Surat kedua untuk Mama

                         (Sumber: pixabay.com) 

   Ada saja sesuatu yang membelenggu pikiranku ini entah karena kisahmu yang masih tertinggal atau kenangan yang terus dikenang, air mata kerap kali menjadi teman saat kumulai bercerita dengan kertas usang diatas meja yang kujumpai setiap hari.

Setiap kutulis dibait pertama, air mataku perlahan jatuh lagi ahhhhh........ aku ini lemah itu saja harus sebegitunya. 
Mungkin, orang akan beranggapan bahwa kamu terlalu lebay dan tak pernah move on dari kisah itu? tetapi dalam hal ini saya ingin menegaskan bahwa  cerita kita punya versi dan porsi masing-masing. Ceritamu tak sama dengan ceritaku, punyamu tak seberapa mirisnya. Bila aku jelaskan secara terperinci kau akan tercengang dan akan menangis juga tetapi  ya sudahlah alangkah baiknya saya sendiri yang menanggungnya dan kamu jangan. 

Melihat orang-orang yang sedang bersama ibunya masing-masing hatiku bagai teriris oleh pisau tajam  yang dengan sengaja membunuh hatiku secara perlahan. Hingga rasa bercampur kesedihan dan  kepiluan. Lalu balik bertanya pada diri mengapa aku tak sebahagia dia? dia sangat terlihat bahagia saat menggenggam dengan erat jari ibunya lalu kemudian memeluknya dengan erat. Terus terang aku begitu iri melihatnya.
Sedang aku hanya bisa termakan hati melihat fotonya yang terpampang nyata di dinding kamarku.

Menyedihkan sekali, kenapa ini harus terjadi kepada diriku? sementara aku baru saja memulai hidupku untuk meneruskan impian yang aku rintis sejak dulu tanpa keluh kesah dan meminta lebih darinya.

Tak adil, kenapa disaat saya sedang berjuang keras demi suatu konsekuensi yang sudah aku tanam dia malah dipanggil lebih dulu oleh tuhan.
Kejam, kejam, kejam.

Dia adalah permata hatiku, pelindung bathinku, selalu menguatkan aku baik susah maupun senang semuanya terasa begitu sempurna dan tak bisa aku gambarkan kedalam hal apapun.
Tetapi, sekarang sudah berbeda berubah dengan sedrastis mungkin aku memulai segalanya dengan sendiri ditemani sepi. Perih tapi tak berdarah itulah yang aku rasakan, belum puas berada pada genggamannya kok bisa secepat ini?

Bila tuhan sayang kepadaku, mengapa dia mengambil permataku dengan begitu cepat?

Pergi tanpa permisi, pamit,dan pesan yang tersirat atau datanglah kedalam mimpi setidaknya kami tahu bahwa ada tanda-tanda sebelum waktunya engkau menghadap yang kuasa. Ini tidak sama sekali bahkan ketika beribu pertanyaan menghampiriku dengan nada penasaran aku tak kuat dan bungkam untuk mengatakannya karena kepergianmu masih menjadi tanda tanya dalam pikiranku.

Kami yang kau tinggalkan, haruskah menanggung rindu dan pilu yang mengikuti dari belakang.

Jika, suatu saat nanti putri kesayanganmu ini sudah membuktikan  atas kerja keras yang membuah hasil, siapa yang memelukku dengan erat lalu berkata "aku bangga padamu sayang" Apakah ayah saja? ini tidak mungkin lalu mungkinkah saat itu engkau datang menyaksikannya dari kejauhan atau disampingku tertawa bahagia melihatku hanya saja aku tak menyadarinya sama sekali.
Dua diatas selalu saja menghantui ilusiku.

Kamu tahu, saat melangkah sendiri itu sangat sedih ketika pulang dan kau tak ada dirumah hanya tangisan menggelegar seisi rumah adalah caraku untuk melempiaskan kebelengguanku.

Saat kuberjalan menyusuri kamar tidurmu lalu menoleh dengan penuh ragu, digantungan itu masih  ada bajumu aku tak kuat untuk melihatnya hati penuh kepenatan.
Kumenoleh keluar jendela tanaman yang sudah kau tanam dulu sekarang sudah berbuah  begitu lebatnya lalu untuk memetiknya hanya kita saja dan kau pergi entah kemana.

Keraguan sering ada padaku, bahkan aku merasa bahwa ini adalah ujian terberat dalam hidup ketika kehilangan orang yang paling aku banggakan yaitu dirimu. Patah hati terberatku dan tak bisa diobati adalah ketika engkau pergi tanpa alasan dan sepata kata. Engkau tau setiap malam aku selalu berdoa pada yang kuasa agar engkau datang dalam mimpiku tetapi usahaku nihil, bahkan tak mencapai apa yang aku dambakan. Mungkin dengan suatu saat nanti dan aku akan menunggu itu.



Comments

Popular posts from this blog

Apakah saya bahagia?

             ( sumber gambar: hipwee.com) Di zaman sekarang kita meremehkan hidup sebagai sesuatu yang santai. Menghabiskan dengan bersuka ria, bersenang-senang sesuka hati sampai lupa akan tujuan dan konsekuensi dari awal apa yang harus diperbuat demi menuai hasil atau masa depan yang lebih baik. Kegiatan yang dilakukan hanya sebagai sesuatu yang cuma-cuma seperti, menarik ulur beranda setiap hari tanpa ada tujuan, buang-buang waktu mengurus perasaan yang tau-taunya tidak jelas mau kemana arahnya, menguras energi dengan memikirkan yang kenyataannya tidak sama dengan realita menguras bathin (menangis karena putus cinta, merasa masa depan sudah suram) menguras pikiran dan membuat hidup itu tidak ada arti seolah hidup itu seperti mati. Apakah dengan terus melakukan hal seperti itu adalah tanda dari suatu kebahagiaan atau kehidupan? Setiap orang punya penilaian masing-masing, kita tidak berhak bahwa pandangan mereka salah dan kita benar. Jawaban yang sesungguhnya adalah, baga

Antara Hujan dan Rindu

 Soreku begitu hangat ditemani dengan secangkir kopi pahit diatas meja yang biasa kutumpangi. Desiran hujan yang berguyur seluruh kota tak asing lagi terdengar. Beberapa kendaraan hendak lewat dijalanan dan sebagian dari mereka mengenakan jas hujan(mantel).Aku duduk ditepi kaca yang transparan sambil melihat beberapa kendaraan yang hendak lewat. Seandainya saja aku tak beranjak dewasa betapa indahnya masa-masa yang telah aku lewatkan tersirat sejuta kenangan dimana saat sepulang sekolah pada waktu SD kujadikan daun pisang sebagai payung teduhku sambil bercerita dengan teman sebaya.Yang lainnya pada sibuk main kejar-kejaran dan yang lain lagi ingin basah kuyup sembari menikmati hujan. Sambil bercakap-cakap satu diantara kami begitu senang dan tak ingin hujannya berhenti. Ditengah perjalan terlihat tanaman disekitar begitu indah ditambah desiran angin yang begitu kencang kamipun bersorak-sorai dan bernyanyi seakan dunia itu milik kami. Lumpur dan juga air keruh kini tak asing la

Perihal berpena

Menjelma bagai dewa Terselubung lewat sinar Sulit untuk aku genggam Perlahan dia menghilang arah Di atas surat itu sudah kutuliskan Kenangan indah bersama dikala dulu Tentang cinta dan kasih sayang Kini sirna dimakan serangga dan lalat Aku terkapar lagi pada barisan depan Sejenak nafasku terengah dan mengangah Sekitar melihat dengan mata tajam Kubalas dengan senyuman membinar Letihku tak terbayar pada aksara Aku berkarya bukan semata ingin terkenal Tetapi jiwaku berkata baiknya kamu berpena Dengan itu kamu akan mengerti apa arti dari peribahasa Setiap kata kuperlihatkan dengan seksama Agar aku mengerti apa yang sedang aku jabarkan Tetapi ilusi kian mulai berhenti pada saat aku memaksa untung mencerna Hingga mataku lelap memikirkan perihal Kubuka perhelai setiap ciutanku diatas buku Sejenak aku diam lalu melotot pada kata itu Mencari hingga beberapa sumber untuk menemu Alangkah baiknya tak jelas dan lebih baik bisu Ragaku sudah tak ingin untuk mencari la